Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perumpamaan Ibu

            Ada seorang ibu yang penuh kasih, kesuburan, dan penyelenggaraan. Dengan kesuburannya yang tak terhingga, ia dengan gembira melahirkan beratus-ratus, bahkan beribu-ribu, anak. Namanya adalah “Pertiwi” dan nama anak-anaknya ialah “pria” dan “wanita”.
            Dengan penuh kasih dan kemurahan hati yang berlimpah-limpah, ia menyuguhi mereka dengan air sejuk dan bening untuk diminum; buah-buah berdaging dan lezat untuk dimakan; rumput lembut, hijau, dan segar untuk berbaring; malam dan siang, bulan dan musim.

            Ketika pria dan wanita, anak-anak Ibu Pertiwi, masih kecil, mereka sangat mengasihi ibu mereka. Mereka membelainya siang dan malam dengan tangan dan kaki telanjang mereka.
            Karena sangat berterima kasih kepada Ibu Pertiwi, maka mereka mengadakan festival-festival besar untuk menyambut dan merayakan musim-musim, panenan, mulainya dan berakhirnya musim hujan, musim panas, dan musim dingin.
            Dalam kesederhanaan mereka sebagai anak, mereka bahkan berdoa kepadanya dan menyembahnya di sawah ladang mereka, di rumah-rumah mereka, dan di kuil-kuil mereka yang mungil.
            Ketika anak-anak Ibu Pertiwi bertambah besar dan menjadi pelajar serta terdidik, sikap mereka menjadi semakin dingin terhadap ibu mereka. Akhirnya, mereka melupakan segala kebaikan hatinya dan seluruh cinta kasih serta kemurahan hatinya. Festival dan perayaan mereka berhenti. Mereka tidak lagi berdoa kepadanya. Mereka lupa menyembahnya. Doa-doa, sembah sujud, festival, dan perayaan mereka dahulu mereka pandang dengan penuh ketakutan dan penghinaan. Ketika mereka menjadi lebih “beradab”, mereka belajar merenggut dari haribaan Ibu Pertiwi, dengan licik dan paksa, harta kekayaan yang dengan penuh kasih disimpankannya bagi anak-anak yang belum lahir!
            Akhirnya, sekarang, ketika mereka telah mencapai puncak kemajuan, mereka telah mengubah sikap-sikap mereka kepada ibu mereka yang baik hati. Ibu Pertiwi sekarang merupakan saingan yang harus ditaklukkan, binatang buas yang harus dimasukkan ke dalam perangkap dan ditundukkan, orang kikir yang harus dilucuti. Maka, anak-anaknya kemudian dengan kejam “memangsa”-nya, memuntungkannya, melucuti selubung keindahannya, dan mencemarkannya. Meskipun begitu, kaum intelektual, filsuf, dan pemikir besar di seluruh dunia terus-menerus berkata, “Akhirnya kita menaklukkan bumi. Kita mengetahui rahasia-rahasia alam. Kita melepaskan bangsa manusia dari kegelapan, ketakutan akan gejala alam, dan takhayul. Kita sekarang kaya dan makmur. Masa depan yang gemilang menanti kita. Tidak perlu lagi kita berdoa atau bersembah sujud kepada siapa pun!”
            Namun, saya bertanya, “Sungguh-sungguh demikan itukah halnya? Dapatkah kita hidup tanpa Ibu kita?”